Mengembalikan Ekologi di Kenya
.
.
Pertemuan ke-15 para pihak (Conference of the Parties atau disingkat COP) United Nations Framework Convention on Climate Change (UNFCCC) di Kopenhage, Denmark, yang membahas perubahan iklim telah usai. Akhir bulan lalu, perhatian dunia tertuju ke ibu kota Denmark ini untuk menyimak rekomendasi hasil pertemuan delegasi negara-negara pemilik hutan tersebut.
Seperti biasa, terjadi tarik ulur negara-negara pengekspor dan pengimpor Co2. Negara-negara pengekspor Co2 sepertinya tidak rela untuk mengurangi produksi karbonnya, sementara negara-negara pengimpor Co2 menuntut kompensasi untuk mempertahankan hutan mereka. Mari kita tinggalkan sejenak drama bertajuk “perubahan iklim” yang dipentaskan di panggung politik tersebut.
Jauh sebelum suhu dunai semakin memanas, sejak 1977, Wangari Maathai telah memulai gerakan untuk menanam pohon untuk menghentikan erosi dan mengembalikan ekologi di Kenya. Gerakan berjuluk Green Belt Movement itu bukan hanya berhasil menanam kembali 30 juta pohon di negeri leluhur Barack Obama ini, melainkan juga mengantarkan Maathai menjadi wanita Afrika pertama yang menyabet hadiah Nobel perdamaian pada 2004.
Tidak berhenti sampai di situ, Profesor Maathai yang dijuluki “The Tree Woman” itu kini melebarkan sayapnya, mengajak semua orang di dunia yang peduli dengan isu pemanasan global untuk menanam lebih banyak pohon. Melalui Website The Green Belt Movement, aktivis lingkungan Kenya ini mempromosikan ide-idenya untuk menyelamatkan bumi dari benca yang akan ditimbulkan akibat ulang tangan manusia sendiri.
No comments:
Post a Comment